Hari
Pendidikan Nasional 2 Mei diambil dari hari lahir Ki Hadjar Dewantara, tokoh
pendidikan yang namanya masyhur dalam lembaran sejarah bangsa. Berikut ini
cerita singkat mengenai menteri pendidikan pertama republik ini, yang punya
sumbangsih begitu besar:
Perjalanan
hidup
Sebagai bangsawan yang besar di lingkungan keraton Yogyakarta, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama asli Ki Hadjar) memperoleh pendidikan yang layak. Setelah menamatkan sekolah dasar di Europeesche Lagere Scholen (ELS, sekolah rendah berbahasa Belanda selama tujuh tahun), dia kemudian melanjutkan sekolah ke Stovia. Sayang, sekolahnya tidak selesai lantaran sakit.
Sebagai bangsawan yang besar di lingkungan keraton Yogyakarta, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama asli Ki Hadjar) memperoleh pendidikan yang layak. Setelah menamatkan sekolah dasar di Europeesche Lagere Scholen (ELS, sekolah rendah berbahasa Belanda selama tujuh tahun), dia kemudian melanjutkan sekolah ke Stovia. Sayang, sekolahnya tidak selesai lantaran sakit.
Selain
aktif menulis, Ki Hadjar juga mengikuti organisasi sosial dan politik Budi
Utomo. Seiring waktu, dia berkenalan dengan tokoh penting seperti Douwes Dekker
dan dr. Cipto Mangunkusumo. Mereka bertiga lalu mendirikan Indische Partij pada
25 Desember 1913 yang bertujuan mencapai Indonesia Merdeka. Di kemudian hari,
organisasi ini ditolak pemerintah Hindia Belanda.
Tulisan
“Jika Saya Seorang Belanda” membuat marah pemerintah kolonial. Gubernur
Jenderal Idenburg menghukum Ki Hadjar Dewantara dengan mengasingkannya ke Pulau
Bangka.
Douwes
Dekker dan Cipto Mangunkusumo (yang memprotes hukuman itu) pun ikut pula
dihukum. Dekker dibuang ke Kupang dan Mangunkusumo ke Pulau Banda. Karena
dipikir di tempat terpencil tidak banyak hal yang bisa diperoleh, ketiganya meminta
diasingkan ke Belanda saja. Terkabul. Alhasil, mulai Agustus 1913, tiga
serangkai ini diasingkan ke Belanda.
Di
negeri penjajah inilah Ki Hadjar mulai tertarik pada pendidikan. Berkat
kegigihannya dalam belajar, Ki Hadjar Dewantara memperoleh Europeesche Akte di
bidang pendidikan dan pengajaran. Pada 1918, dia kembali ke tanah air.
Mendirikan
Taman Siswa
Mimpi
Ki Hadjar untuk bisa menyelenggarakan sekolah bagi masyarakat secara luas
(tidak hanya orang Belanda dan priyayi) terwujud pada tanggal 3 Juli 1922,
ketika dia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau yang
dikenal sebagai Perguruan Nasional Taman Siswa — sekolah yang bercorak
nasional.
(Sebelumnya,
pada tahun 1848, Belanda mendirikan 20 Regentschapscholen khusus bagi anak-anak
priyayi. Tahun 1907, J.B. van Heutz mendirikan Volksschoelen (sekolah rakyat)
yang menawarkan pendidikan tiga tahun menggunakan bahasa lokal dengan guru-guru
pribumi.)
Tujuan
utama pendirian Taman Siswa adalah memberikan pengajaran secara luas dengan dasar
kerakyatan. Pendidikan Taman Siswa diarahkan untuk mengembangkan kepribadian
yang baik dan kebebasan individu di dalam budaya nasional dan bukan kolonial.
Taman
Siswa juga mandiri dalam mengurus diri, termasuk soal pendanaan. Sekolah ini
tidak menerima subsidi dari pemerintah kolonial.
Walaupun
demikian, Taman Siswa mampu berkembang dengan baik. Pendidikan yang
diselenggarakan oleh Perguruan Taman Siswa melingkupi Taman Indria (TK), Taman
Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman
Madya (SMA). Taman Siswa pun mampu berkembang menjadi 166 sekolah pada 1932
(Kamus Sejarah Indonesia, Robert Cribb dan Audrey Kahin).
Taman
Siswa sempat mengalami masalah ketika gubernur jendral De Jonge mengeluarkan
“Ordonansi Pengawasan” yang dimuat dalam Saatsblad no. 494 tertanggal 17
September 1932 yang bertujuan “menertibkan” wilden scholen (sekolah “liar” yang
tidak memperoleh subsidi dan ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial).
Setiap sekolah “liar” ini diwajibkan meminta izin pada pemerintah kolonial
sebelum membuka kelas pengajaran. Guru yang mengajar pun harus memiliki izin.
Adanya
peraturan ini tentu menimbulkan perlawanan. Ki Hadjar Dewantara bersama
Mohammad Sjafei dari INS Sumatera Barat dengan dukungan dari 27 organisasi
(PSII, Budi Utomo, Partindo, Muhammadiyah, dll) berhasil memimpin kampanye
nasional yang berujung pada pencabutan peraturan tersebut. Jumlah sekolah liar
diperkirakan mencai 2200 dengan 142 ribu murid pada akhir dekade 1930-an. Taman
Siswa dan sekolah lainnya pun terus berkembang dan berdampak positif bagi
pendidikan bangsa.
Tiga
puluh tiga tahun sejak berdirinya Taman Siswa atau tepatnya pada 15 November
1955, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kini menjadi
Universitas Sarjanawinata Tamansiswa (UST,). Dengan adanya Taman Prasarjana
ini, pendidikan di Indonesia harus memungkinkan masyarakatnya untuk mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya.
Setelah
Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai
menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan yang pertama. Berkat
sumbangsihnya pada dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara memperoleh gelar
doktor kehormatan dari UGM pada 1957.
Ing
Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (Di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan Tut Wuri Handayani (Di
belakang memberi dorongan) senantiasa kita jumpai di setiap tingkatan
pendidikan di negeri ini.
Semoga, momentum hari pendidikan tahun ini bisa kita gunakan untuk mengamalkan ajaran sederhana yang penuh makna tersebut, bukan sekadar menyuarakannya dengan lantang ketika upacara peringatan hari pendidikan nasional.
0 komentar:
Posting Komentar